tu@smanmba.sch.id

0645 65 3247,3248,3249

  • Sepotret Nanggroe Lon Sayang

    • 25 Nov 2015
    • /
    • Informasi
    • /
    • Admin
    • 748

    “He took his pain and turned it into something beautiful. Into something that people connect to. And that's what good music does. It speaks to you. It changes you.”Â
    ―Â
    Hannah Harrington,ÂSaving June

    Malam beranjak pelan, menaiki tangga-tangga waktu menuju dini hari. Di lapangan Punteut, tempat berlangsungnya Pameran Pembangunan Kota Lhokseumawe, tak menyurutkan kehadiran pengunjung yang datang dari berbagai daerah sekitar Lhokseumawe. Area di depan panggung utama semakin padat, dan menjadi titik berkumpul untuk menyaksikan pergelaran kesenian yang akan dipentaskan malam itu.

    Sambil menunggu acara dimulai, panitia memutarkan beberapa lagu Aceh. ÂSepotong yang cukup berkesan adalah Nanggroe Lon Sayang yang dinyanyikan oleh Yus Deddy. Berdiri di antara para pengunjung lainnya, lagu ini tidak hanya menghilangkan rasa bosan, tapi juga mengajak ingatan berkelana menyusuri lorong-lorong waktu yang telah lalu.

    Aceh adalah satu narasi panjang perjuangan atas ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi, pertikaian politik, dan segala bentuk kehilangan yang tidak bisa dihitung. Apa yang kita miliki sekarang, lebih dan kurangnya, harus dijadikan landasan untuk terus melakukan perbaikan, baik sikap maupun metode sosial, guna membentuk masa depan yang lebih baik lagi.

    Berbicara tentang pembangunan selalu meliputi tentang dua aspek, yaitu pembangunan fisik (gedung, jalan, dan sebagainya), dan juga Âmanusianya. Sebagai daerah yang pernah dilanda konflik, pekerjaan terberat tidak hanya ada pada pembangunan fisik, tetapi juga bagaimana membangun manusianya dari keterpurukan sejarah.

    Pembangunan fisik masih mungkin diprediksi secara akurat, mulai lamanya pengerjaan, sumber daya yang dibutuhkan, sampai perhitungan dana selama pengerjaan dan perawatannya. Tapi untuk meramu bagaimana mengobati kemanusiaan yang terluka, membangun keberanian memaafkan atas kesalahan masa lalu, menghapus air mata anak-anak korban, atau memadamkan api amarah yang menyala diam-diam di dalam dada, adalah hal yang membutuhkan kesabaran, pendekatan khusus, dan metode sosial yang tepat.

    Aceh Meutuah

    Aceh dikenal sebagai daerah yang kaya. “Minyeuk dengon gas, Aceh lon kaya”, bunyi lirik dalam lagu Nanggroe Lon Sayang. Sayangnya, kekayaan bukanlah sesuatu yang konstan. Kekayaan senantiasa mengalami perubahan sesuai zamannya. Seperti hari ini, era kejayaan minyak dan gas Aceh telah berakhir. Dua hal yang menjadi lambang kemegahan pada masanya, sekarang adalah cerita yang diwariskan pada anak cucu.

    Tetapi hidup adalah roda yang tidak henti berputar. Sooner or later, kata Stephen King seorang penulis Amerika, it (life) always come around to where you started again. Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita menyikapi kenyataan ini. Apa yang perlu dibenahi, supaya cerita tentang kejayaan dan kekayaan terus-menerus lestari, baik dengan perspektif yang baru ataupun dengan yang kita punya saat ini?

    Dulu, Aceh menjadi daerah yang sangat ramah. Satu daerah yang suka memuliakan tamu, yang pernah menjadi rumah singgah perjalanan haji orang-orang Nusantara di waktu itu. Sepotret yang sama sekali berbeda dengan yang kita jumpai hari ini. Barangkali konflik berkepanjangan, benturan kebudayaan, dan ketidaksiapan kita dalam menghadapi dinamika perubahan telah mengubah tatanan perilaku yang ketika itu disebut Serambi Mekkah.

    Mencari dan menemukan kembali apa-apa yang hilang di dalam lintasan sejarah, adalah hal yang membutuhkan kerja keras dan waktu yang panjang. Memugar kembali reruntuhan adat istiadat, norma-norma, falsafah hidup, untuk kemudian menyusun dan membangunnya menjadi indentitas manusia baru, yang lebih memberi kebaikan dari hari kemarin adalah pekerjaan rumah bagi setiap yang tinggal di tanah Aceh.

    Kekayaan, dalam sudut pandang minyak dan gas, harus mulai digeser ke dalam bingkai masyarakat (meminjam istilah Nurcholish Madjid) madani. Harus ada perubahan dalam cara berfikir kita, bahwa sikap hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebijakan, egalitarianisme, menghargai penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme, serta musyawarah adalah kekayaan kepribadian masyarakat Aceh di masa depan.

    Sehingga kemudian, kekayaan menjadi hal yang hakiki, yakni kemanusiaannya, kebudayaannya, keramahannya, juga khazanah berfikirnya. Baru setelah itu, Aceh menjelma sebagai nanggroe metuah, pusaka kaya seperti bunyi lirik lagu Nanggroe Lon Sayang.

    Penutup

    Berada di tengah-tengah masyarakat yang menghadiri pameran pembangunan, merupakan anugrah tersendiri. Melihat wajah-wajah senang para pengunjung, adalah alasan yang membuktikan kita bahwa ada masa depan yang lebih baik, yang perlu untuk terus diperjuangkan, dengan tetap berfikir positif dan memperbaharui setiap harapan yang ada.

    Doa, tidak selalu yang diucap dan diaminkan di dalam masjid. Tetapi, menyebar di setiap laku kehidupan; di dalam mata bahagia pedagang setelah dagangannya laku, senyum tawa seorang ibu yang bermain gelembung bersama anak-anaknya, atau di bahu seorang bapak yang tanpa lelah menggendong anaknya untuk bisa melihat panggung kesenian.

    Semoga, setiap peristiwa-peristiwa sederhana yang terjadi di sekitar kita, menjelma doa yang diaminkan oleh semesta dan para malaikat, untuk nonggroe lon sayang yang meutuah, mulai hari ini dan seterusnya.

    Hai putroe Aceh, bijeeh meutuah

    Seuramoe Meukah, ta peuwoe citra

    Lagee yang ka ka, masa yang sudah

    Aceh nyoe meugah, ban saboh doenya

    Â

    Lsw 23/11/2015

    Â



    Comment has been disabled.