Selama seminggu awan gelap terus-terusan mencuri indahnya mentari. Hujan deras kemudian jatuh dari langit, diiringi dingin dan bunyi petir yang menyambar berhari-hari. Di tanah, air tak lagi resap dan sungai tak cukup dalam menampung debitnya, sehingga air meluap dan membanjiri rumah-rumah warga. Pagi itu di akhir tahun 2020, banjir lagi-lagi melanda Gampong Pulo di Kabupaten Aceh Utara. Banjir kiriman seperti ini juga pernah terjadi pada tahun 2019 dan tahun-tahun sebelumnya.
Saya ingat ketika air mulai naik dan masuk ke rumah-rumah, jalanan seketika ramai oleh warga dan kendaraan yang berlalu-lalang menghindari banjir. Secara terpaksa warga harus angkat kaki sementara dari rumah mereka sambil berusaha menyelamatkan barang-barang yang dianggap penting dan mencari posko pengungsian terdekat. Musibah seperti ini selalu menghantui warga hampir setiap akhir tahun, saat curah hujan sedang tinggi-tingginya warga merasakan was-was jika banjir kembali sewaktu-waktu.
Gampong Pulo terletak di jalan Medan-Banda Aceh ini terpisah dari Gampong lain dan memiliki bentuk bulat seperti pulau yang dikelilingi rawa-rawa. Menurut seorang warga asli bernama Bakhtiar, karena bentuk dan letaknya inilah maka disebut Gampong Pulo yang artinya pulau. Gampong Pulo memiliki luas kurang lebih 180 hektar.
Di rawa-rawa seluas 70 hektar yang mengililingi Gampong Pulo dulunya ditumbuhi pohon rumbia. Dataran bertanah basah yang selalu digenangi air secara alami itu menjadi tempat hidup ular dan biawak. Biasanya warga bisa mengambil hasil rawa yaitu ikan-ikan yang juga hidup disana. ÂNamun sayang seiring berjalannya waktu rawa-rawa yang mengelilingi Gampong ini ditimbun untuk dijadikan rumah-rumah dan persawahan, sehingga sekarang tidak ada lagi rawa yang tersisa disana.
SUNGAI DAN HUTAN
Bakhtiar bercerita, âPenyebab terjadi banjir kiriman di Gampong Pulo karena meluapnya air sungai seperti di Krueng Pase Lhoksukon dan Krueng Gedong ketika curah hujan terlalu tinggi, sementara sungai sudah tidak bisa menampung air ketika musim hujan tiba. Selain itu juga peresapan air sudah tidak ada lagi karena penebangan hutan yang terjadi di Paya Bakongâ.
Warga memohon perhatian pemerintah untuk menanggulangi bencana alam yang singgah setiap musim hujan tiba, tetapi teriakan warga nyaris tak didengar. Padahal warga setempat sudah lelah menghadapi genangan rutin setiap tahunnya, bahkan terkadang bencana alam ini datang setahun 2 kali.
Menurut pengakuan Bakhtiar, saat ini warga hanya bisa pasrah menunggu kebijakan pemerintah, karena sungai sudah tak mampu menampung air ketika datangnya musim hujan.
SUKA DUKA
Saat banjir warga biasanya mengungsi ke menasah atau ke rumah-rumah tetangga yang tidak digenangi air. Banjir rutin ini sangat merugikan warga, selain merusak barang-barang penting, juga membawa bibit penyakit dan trauma mendalam yang terus-menerus menghantui setiap musim hujan tiba.
Seorang warga bercerita, âTahun lalu ada warga yang meninggal ketika banjir, dan yang sedihnya tidak bisa dimakamkan di Gampong sendiri karena banjir masih belum surutâ. Genangan besar membuat warga mengeluh dan menyalahkan hujan yang jatuh tanpa henti.
Tidak hanya itu, kisah pilu juga dirasakan oleh warga lainnya, seperti yang diungkapkan oleh seorang petani yang gagal memetik hasil dimusim panen. âPadahal tadinya sudah bisa dipanen, tapi karena tidak ada buruh panen jadi ditunda dulu, beberapa hari kemudian banjir, Âjadi gagal panen,â tuturnya.
Petani, yang juga seorang perempuan itu, harus menghidupi seorang ibu dan juga 4 anaknya yang masih bersekolah. Suaminya telah meninggal dunia ketika tsunami tahun 2004. Sedangkan dirinya hanyalah seorang ibu rumah tangga yang bergantung pada hasil pertanian. âTapi Alhamdulillah masih banyak keluarga yang bisa membantu,â ungkapnya.
Tanpa bermaksud meromantisasi sebuah bencana, munculnya banjir menjadi kesenangan tersendiri bagi anak-anak. Anak-anak berenang ditengah air, menikmati banjir yang singgah di Gampong mereka tanpa mengerti bahwa banjir adalah sebuah musibah.
Bagi warga umumnya, musibah banjir membuat mereka saling membantu untuk meringankan beban masing-masing. Seperti yang terjadi di posko pengungsian, para warga saling berbagi tanpa melihat perbedaan. Semua warga korban banjir tidur di tempat yang sama. ÂRumah warga yang tidak disinggahi banjir menjadi tempat pengungsian sementara warga lainnya. Hal ini mempererat tali persaudaraan sesama warga.
Perhatian dan kesadaran
Keberadaan rawa-rawa dapat membawa pengaruh baik bagi kehidupan. Rawa-rawa mampu menyerap dan menyimpan kelebihan air di daerah sekitarnya, terutama saat musim hujan sehingga dapat mencegah terjadinya banjir. Pada saat musim kemarau, air akan tetap ada sehingga dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup disekitarnya.ÂÂÂ
Kita dapat menjaga dan melestarikan rawa-rawa dengan cara tidak membuang kotoran Âdi rawa, tidak membuang sampah atau limbah rumah tangga dan industri serta melestarikan hutan di hulu rawa.
Perhatian pemerintah dalam menanggulangi banjir sangat penting, tapi kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan juga tak kalah penting. Peran kecil masyarakat seperti membuang sampah pada tempatnya dan melakukan reboisasi dapat membawa pengaruh baik bagi diri sendiri ataupun lingkungan.
Catatan : tulisan ini bagian dari latihan menulis artikel feature.