Pertama-tama, izinkanlah saya untuk mengawali tulisan di website kita ini dengan satu catatan sederhana. Secarik tulisan, yang dengan segala kerendahan hati, mencoba memulai langkah awal dari perjalanan panjang ide-ide yang berloncatan mencari ruang hidup. Semoga, tulisan ini bisa membangun diskursus baru dalam mereposisi produk teknologi, khususnya website, di institusi pendidikan sebagai media aktif untuk belajar dan berproses.
Kalau kita melihat perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, maka pertanyaan yang muncul sebaiknya tidak berhenti hanya pada bagaimana penggunaan teknologi dalam konteks belajar, tetapi harus juga menyentuh bagaimana memanfaatkannya untuk melahirkan kesadaran-kesadaran baru terhadap pemaknaan realita dan juga dinamika perubahan yang terjadi di sekitar kita.
Di satu sisi, teknologi membawa kita pada kehidupan yang lebih baik, tetapi di sisi lain juga menjebak kita pada sikap hidup yang instan, permisif, dan pragmatis. Contohnya ucapan selamat hari raya yang dikirim secara broadcast. Meski bisa menjangkau banyak penerima, tetapi kalau diperlakukan secara keliru akan mengurangi interaksi sosial dan mereduksi nilai silaturrahmi. Padahal, interaksi sosial danÂsilaturrahmi adalah bagian penting dari perayaan hari raya itu sendiri.
Tantangannya kemudian, apakah produk teknologi seperti website bisa menjadi ruang baru untuk belajar menjadi pribadi yang memiliki kematangan sikap, yang perduli terhadap gejala sosial di lingkungannya? Atau, sebagaimana website sekolah pada umumnya, cukup sekadar memuat informasi normatif untuk menaikkan nilai prestise, dan digunakan setahun sekali menjelang pendaftaran siswa baru?
Pertanyaan seperti ini penting dikemukakan, mengingat pada umumnya website sekolah digunakan secara pasif. Padahal, website juga bisa digunakan sebagai media belajar dan berproses di bidang literasi, dengan membuka ruang-ruang maya sebagai tempat untuk menuang gagasan, ide, ataupun kreatifitas seni lainnya. Dengan demikian, website menjadi bagian yang menyatu dengan dinamika pendidikan di sekolah.
Literasi merupakan narasi kecil dari narasi yang lebih besar lagi yang bernama sastra. Di ranah ini (sastra), teknologi informasi bisa berperan sebagai instrumen pendidikan untuk menciptakan tradisi membaca dan menulis sebagai hal yang menyenangkan, melalui kesempatan berkarya dan saling mengapresiasi di ranah publik. Tentunya dengan tetap munjunjung tinggi etika dan norma-norma yang berlaku.
Sastra menjadi penting, karena sastra adalah persoalan bahasa yang merupakan penghubung kordinat kehidupan, untuk membangun interaksi yang sinergi antara sesama manusia, juga manusia dengan alamnya. Cara sebuah bangsa menempatkan kata dalam struktur sosialnya, adalah cerminan dari filosofi pemikiran dan sikap hidup individunya yang kelak membentuk narasi besar kebudayaan dan sejarah bangsa itu sendiri.
Ada status di media sosial yang cukup menarik bagi saya. John Kuan, demikian nama akunnya, pernah memposting sebuah tulisan yang saya cuplik bagian akhirnya :
Namun sastra sungguh berguna, sekalipun tidak bisa menghasilkan uang. Ijinkan saya kutip sepotong kata Marcuse: âSeni tidak dapat mengubah dunia, namun ia dapat mengubah kesadaran dan keinginan lelaki dan perempuan, dan mereka dapat mengubah dunia. â Seni â tentu termasuk sastra â akhirnya bisa mengubah dunia, walau prosesnya agak makan waktu. Kenapa seni â tentu termasuk sastra â dapat mengubah manusia? Sebab bahasa adalah pikiran, manusia tidak mampu berpikir sampai tempat yang tidak mampu dicapai bahasa. Satu abad yang lalu, Saussure telah berkata: âAndai tidak ada bahasa, pikiran adalah nebula yang tak terduga." Bahasa sastra dapat memperkaya dan meningkatkan bahasa perorangan, kualitas dan cara pemikiran orang akan menjadi lebih baik. Maka, sastra bukan bulan hujan bunga gunung, sekedar menambah sentimen tertentu saja. Sastra adalah terus bertahan di dalam sebuah pertempuran serius ( seni lain juga ), senjatanya adalah bahasa yang terlatih dan unggul, musuhnya adalah vulgar dan biadab. - John Kuan
Paragraf John Kuan tersebut mengingatkan saya pada satu acara bincang-bincang budaya di televisi lokal. Diceritakan, pernah seorang wartawati senior mewawancarai mantan Presiden Korea Selatan (tidak disebut namanya siapa), terkait dengan kemampuan negaranya untuk bangkit dari keterpurukan pasca perang saudara dengan Korea Utara.
Mantan Presiden Korsel itu kemudian menerangkan, ada 2 kebijakan yang diambil dalam penerimaan pegawai di pemerintahan mereka. Pertama, pegawai diseleksi secara ketat; hanya yang memenuhi kualifikasi akademik tertentu yang diterima. Kedua, pegawainya lebih diprioritaskan bagi yang memiliki kemampuan sastra, baik di bidang puisi, kaligrafi, ataupun kesenian lainnya.
Lebih lanjut beliau menerangkan bahwa dengan berkesenian, orang akan cenderung lebih sensitif terhadap persoalan di lingkungannya, dan hal itu bisa membantu meningkatkan etos kerja dan pelayanan publik bagi tercapainya cita-cita kebangsaan yang dicanangkan oleh mereka.
Sastra, sejalan dengan disiplin ilmu akademik apapun level tingkatannya. Sastra mengajarkan kita untuk mencintai budaya membaca dan menelaah guna menyerap sebanyaknya informasi sebelum berpendapat. Sedangkan menulis, adalah seni mengolah gagasan, melatih rasa, skema berfikir, dan nalar deduktif terhadap satu persoalan tertentu. Menulis adalah proses berfikir kreatif yang runtut, sistematis, dan logis.
Oleh karena itu, menurut saya sastra harus dilihat lebih dari sekadar persoalan pengelompokan bidang studi di jenjang sekolah, bukan juga soal jurusan fakultas di dunia kampus. Tetapi, sastra harus dipahami sebagai bagian dari tarikan dan helaan nafas kehidupan itu sendiri, adalah pondasi dan tiang-tiang yang membentuk bangunan sosial budaya kita hari ini. Sastra adalah sumbu dari peradaban.
Semoga website sekolah kita ini bisa menjadi bagian dari kegiatan akademik sekolah; sebagai kelas alternatif untuk belajar dan berproses; sebagai media untuk menumbuhkembangkan rasa gemar membaca dan menulis, dengan tujuan menggali potensi diri dan menemukan sandaran, ketepatan nalar, dan kematangan sikap, dalam menghadapi perubahan zaman dan benturan budaya asing. Semoga saja.